Menjaga Tradisi di Tengah Modernitas: Eksklusi Sosial yang Dihadapi Komunitas Adat Baduy
ANTARA MODERNITAS DAN TRADISI DI TENGAH BAYANGAN KOTA:
EKSKLUSI SOSIAL TERHADAP KOMUNITAS ADAT BADUY OLEH DUNIA LUAR
Oleh: Putra Zaky Jubran
Masyarakat adat Baduy merupakan kelompok etnis yang
tinggal di daerah pegunungan Kendeng, Kabupaten Lebak, Banten. Mereka hidup
dengan memegang teguh prinsip adat yang diwariskan secara turun-temurun (Bahrudin
& Zurohman, 2021). Prinsip ini meliputi harmoni dengan alam, kesederhanaan,
dan penolakan terhadap teknologi modern. Komunitas ini terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy
Dalam sangat tertutup dan menjaga tradisi, sementara Baduy Luar lebih terbuka
terhadap interaksi dengan dunia luar. Namun, masyarakat Baduy sering menghadapi
eksklusi sosial karena perbedaan cara hidup mereka dengan masyarakat umum. Hal
ini membuat mereka sering dianggap tidak sejalan dengan perkembangan zaman.
Esai ini bertujuan membahas bentuk-bentuk eksklusi sosial terhadap masyarakat
Baduy dan dampaknya pada kehidupan mereka (Widowati, 2019).
Gambar 1. Kondisi dan Suasana Baduy
Sumber:
Diolah Oleh Penulis, 2022
Masyarakat adat Baduy dikenal dengan kehidupan sederhana yang berpegang teguh pada adat istiadat. Mereka tidak menggunakan teknologi modern, seperti listrik atau kendaraan bermotor, terutama di Baduy Dalam. Rumah mereka terbuat dari bahan alami seperti bambu dan atap dari daun kirai. Keseharian masyarakat Baduy diisi dengan bercocok tanam secara tradisional, terutama menanam padi di ladang huma. Mereka juga memproduksi kerajinan tangan, seperti anyaman bambu, yang dijual oleh masyarakat Baduy Luar. Salah satu tradisi penting mereka adalah larangan untuk mengubah alam secara berlebihan, seperti menebang pohon sembarangan atau mencemari sungai. Kepercayaan mereka, yang dikenal sebagai Pikukuh Karuhun, menuntun mereka untuk menjaga keselarasan dengan alam dan menghormati leluhur (Bahrudin & Zurohman, 2021). Selain itu, ada aturan ketat mengenai pakaian dan perilaku. Masyarakat Baduy Dalam hanya mengenakan pakaian berwarna putih atau hitam polos tanpa motif, sementara masyarakat Baduy Luar lebih fleksibel dalam berbusana. Mereka juga memiliki tradisi Seba, yaitu upacara tahunan di mana mereka menyerahkan hasil bumi kepada pemerintah setempat sebagai simbol hubungan antara masyarakat adat dan negara. Tradisi ini menjadi wujud pengabdian sekaligus pengingat bahwa mereka tetap merupakan bagian dari bangsa Indonesia meskipun memilih hidup dengan cara mereka sendiri (Haryadi, 2019).
Gambar 2. Tradisi Adat Pikukuh Karuhun
Masyarakat
adat Baduy menghadapi sejumlah persoalan yang mengancam keberlangsungan tradisi
dan kehidupan mereka. Salah satu
persoalan utama adalah tekanan dari pembangunan modern di sekitar wilayah
mereka. Contohnya adalah pembangunan jalan, proyek wisata, dan aktivitas
ekonomi yang sering kali mengabaikan kebutuhan masyarakat adat. Hal ini tidak
hanya mengganggu ketenangan mereka, tetapi juga mengancam keberlanjutan
lingkungan yang mereka jaga. Selain itu, kurangnya perlindungan hukum terhadap
tanah adat membuat masyarakat Baduy rentan kehilangan wilayah mereka akibat
eksploitasi oleh pihak luar. Persoalan lain adalah meningkatnya interaksi
dengan dunia luar, terutama di Baduy Luar, yang membawa pengaruh modernisasi.
Generasi muda Baduy Luar mulai tertarik pada teknologi, uang, dan gaya hidup
modern, yang perlahan dapat mengikis tradisi mereka. Eksploitasi budaya oleh
wisatawan juga menjadi masalah, seperti pengambilan foto tanpa izin atau
pengunjung yang melanggar aturan adat. Selain itu, stigma masyarakat umum yang
menganggap mereka "kuno" membuat masyarakat Baduy sering merasa terpinggirkan
dalam kehidupan sosial. Jika masalah ini tidak segera diatasi, identitas budaya
masyarakat Baduy bisa terancam hilang (Asyari et al, 2017).
Eksklusi sosial adalah kondisi di mana sekelompok orang
tidak mendapatkan akses yang adil ke sumber daya, peluang, atau hak yang
seharusnya mereka nikmati sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini sering
disebabkan oleh perbedaan budaya, keyakinan, atau gaya hidup yang membuat
mereka dianggap "berbeda" oleh mayoritas (Firmansyah, 2023). Bagi
masyarakat adat seperti Baduy, eksklusi sosial berdampak besar pada kehidupan
mereka. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan dalam mendapatkan pelayanan
dasar, seperti pendidikan dan kesehatan, tetapi juga sering diabaikan dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut wilayah dan budaya mereka. Akibatnya,
mereka semakin terpinggirkan dan kehilangan peluang untuk beradaptasi secara
adil dengan dunia luar, tanpa harus mengorbankan tradisi mereka. Masyarakat
Baduy menghadapi berbagai bentuk eksklusi sosial. Salah satunya adalah
stereotip yang menganggap mereka sebagai kelompok "terbelakang" atau
"primitif". Pandangan ini membuat masyarakat umum
sering meremehkan atau tidak menghargai tradisi dan cara hidup mereka (Cahyono,
2016). Selain itu,
diskriminasi muncul ketika hak mereka, seperti pengakuan atas tanah adat,
sering kali tidak diakui secara resmi. Bentuk lain dari eksklusi adalah
marginalisasi ekonomi, di mana masyarakat Baduy sulit mendapatkan akses ke
pasar atau peluang ekonomi modern karena keterbatasan teknologi dan pengetahuan
modern yang mereka pilih untuk tidak gunakan. Semua bentuk eksklusi ini tidak
hanya mengisolasi mereka secara sosial, tetapi juga mengancam keberlanjutan
tradisi dan identitas budaya mereka.
Modernitas dan globalisasi memberikan pengaruh besar
terhadap masyarakat adat Baduy, terutama dalam aspek budaya dan lingkungan
hidup mereka. Kehadiran dunia luar, seperti wisatawan, teknologi, dan sistem
ekonomi modern, secara perlahan memasuki wilayah mereka (Sutoto, 2017).
Masyarakat Baduy Luar mulai terpapar oleh perubahan ini, seperti menggunakan
uang dalam perdagangan dan berinteraksi lebih sering dengan masyarakat umum.
Namun, bagi masyarakat Baduy Dalam yang sangat ketat menjaga adat, pengaruh
globalisasi menjadi tantangan besar. Mereka menghadapi risiko terganggunya
harmoni yang selama ini dijaga, terutama ketika perubahan tersebut bertentangan
dengan aturan adat mereka. Tekanan dari dunia luar juga muncul melalui
pembangunan infrastruktur dan pariwisata yang tidak ramah budaya. Pembangunan
jalan yang mendekati wilayah adat sering kali mengganggu ketenangan masyarakat
Baduy, sementara pariwisata membawa banyak pengunjung yang kadang tidak
menghormati aturan adat (Firdaus et al, 2020). Sebagai contoh, ada wisatawan
yang memotret tanpa izin atau melanggar aturan berpakaian yang ditetapkan. Di
sisi lain, masyarakat Baduy menghadapi tantangan besar untuk mempertahankan
tradisi mereka. Ketika generasi muda mulai terpapar gaya hidup modern, seperti
teknologi atau pendidikan di luar komunitas mereka, ancaman terhadap
keberlanjutan nilai-nilai budaya semakin nyata. Tekanan untuk beradaptasi ini
sering kali membuat masyarakat adat berada dalam dilema antara menjaga tradisi
atau berkompromi dengan dunia luar demi keberlangsungan hidup.
Gambar
3.
Gaya Pakaian Tradisional Suku Baduy
Sumber: Katadata.com, 2024
Masyarakat Baduy sering kali menghadapi stigma dan
stereotip dari masyarakat umum yang menganggap mereka sebagai kelompok
"terbelakang" atau "terisolasi". Persepsi ini muncul karena
cara hidup masyarakat Baduy yang sederhana dan teguh memegang adat, sehingga
berbeda dengan kehidupan modern. Akibat stigma tersebut,
masyarakat Baduy sering dipandang rendah dan tidak dihargai setara oleh
masyarakat luar. Selain itu, pola hidup tradisional mereka yang mengandalkan
pertanian dan kerajinan tangan membuat mereka sulit mendapatkan akses yang adil
ke sumber daya ekonomi modern. Banyak di antara mereka yang tidak memiliki
akses langsung ke pasar besar atau teknologi modern yang dapat membantu
meningkatkan pendapatan (Suryani et al, 2021). Hal ini membuat mereka semakin
termarginalisasi secara ekonomi. Ketidakadilan hukum juga menjadi bentuk
eksklusi sosial yang dialami masyarakat Baduy. Hak atas tanah adat mereka
sering kali tidak diakui sepenuhnya oleh pihak luar, sehingga mereka rentan
kehilangan wilayah yang mereka jaga turun-temurun. Contohnya, pembangunan
infrastruktur atau proyek besar sering dilakukan tanpa berkonsultasi dengan
masyarakat Baduy. Selain itu, budaya mereka sering dieksploitasi oleh
pariwisata. Banyak wisatawan atau pelaku industri pariwisata yang memanfaatkan
budaya Baduy sebagai daya tarik tanpa penghormatan yang memadai terhadap
nilai-nilai adat mereka. Misalnya, pengunjung kerap melanggar aturan adat
seperti memotret tanpa izin atau memperlakukan masyarakat Baduy hanya sebagai
"objek wisata". Komersialisasi
ini tidak hanya merusak tradisi mereka, tetapi juga membuat mereka semakin
merasa tidak dihormati sebagai komunitas adat.
Masyarakat Baduy, terutama Baduy Dalam, berusaha keras
mempertahankan tradisi mereka di tengah tekanan dunia luar. Mereka tetap
memegang teguh aturan adat, seperti larangan menggunakan teknologi modern,
menjaga lingkungan, dan menjalankan kehidupan yang sederhana. Meski berbagai
tekanan datang, seperti pembangunan infrastruktur dan kedatangan wisatawan,
masyarakat Baduy Dalam konsisten menolak perubahan yang dianggap merusak nilai
adat. Namun, menjaga tradisi ini tidaklah mudah karena semakin banyak pengaruh
luar yang masuk melalui Baduy Luar, yang lebih terbuka terhadap modernitas.
Tekanan ini memaksa mereka untuk terus beradaptasi tanpa mengubah prinsip dasar
adat yang menjadi identitas mereka. Pengaruh modernitas juga memunculkan
konflik internal di dalam komunitas Baduy, terutama antara masyarakat Baduy
Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam tetap berkomitmen menjaga adat secara ketat,
sementara Baduy Luar mulai menerima unsur-unsur modernitas, seperti menggunakan
uang atau menjual hasil kerajinan kepada wisatawan. Perbedaan pendekatan ini
kadang memicu ketegangan, terutama ketika anggota Baduy Luar dianggap terlalu
jauh meninggalkan tradisi (Gumba, 2023). Selain itu, tekanan sosial dan ekonomi
juga mendorong perubahan gaya hidup masyarakat Baduy, seperti generasi muda
yang mulai tertarik pada pendidikan atau teknologi modern. Perubahan ini,
meskipun membantu mereka beradaptasi dengan dunia luar, dapat mengancam
kelestarian tradisi dan nilai budaya yang mereka jaga selama ini.
Eksklusi sosial menyebabkan masyarakat adat Baduy semakin
terisolasi dari masyarakat umum. Mereka sering dipandang "berbeda"
karena cara hidup tradisional mereka, sehingga interaksi sosial dengan dunia
luar menjadi terbatas. Isolasi ini tidak hanya memperkuat jarak antara
masyarakat Baduy dan masyarakat luar, tetapi juga mulai memengaruhi solidaritas
internal mereka. Misalnya, pengaruh modernitas yang masuk melalui Baduy Luar
sering memunculkan perbedaan pandangan dengan Baduy Dalam, yang berpegang teguh
pada adat. Jika dibiarkan, penurunan solidaritas adat ini dapat mengancam
kesatuan komunitas Baduy secara keseluruhan. Dalam aspek ekonomi, eksklusi
sosial membuat masyarakat Baduy sulit bersaing dengan masyarakat luar. Pola
hidup tradisional mereka yang mengandalkan pertanian subsisten dan kerajinan
tangan sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan ekonomi modern (Bintari
& Risma, 2012). Keterbatasan akses terhadap teknologi, pasar yang lebih
luas, dan pelatihan ekonomi membuat masyarakat Baduy tertinggal dalam sistem
ekonomi yang semakin kompetitif. Akibatnya, mereka menjadi kelompok yang rentan
secara ekonomi, terutama ketika sumber daya lokal yang mereka andalkan mulai
terancam oleh pembangunan atau eksploitasi pihak luar. Hal ini memperburuk
marginalisasi mereka, sekaligus membuat mereka semakin sulit untuk beradaptasi
tanpa meninggalkan nilai-nilai adat yang mereka pegang teguh.
Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi
eksklusi sosial terhadap masyarakat Baduy. Pemerintah harus memberikan
pengakuan hukum yang kuat terhadap hak tanah dan wilayah adat mereka (Astina
& Anak Agung, 2023). Selain itu, program pendidikan yang menghormati budaya
lokal dapat membantu masyarakat luar memahami pentingnya tradisi masyarakat
adat. Media
juga berperan penting dalam menghapus stigma negatif dengan menyebarkan
informasi yang positif tentang keberagaman budaya. Wisata berbasis komunitas
yang dikelola bersama masyarakat Baduy dapat menjadi solusi agar interaksi
dengan dunia luar tetap menghormati adat mereka. Semua pihak perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa
masyarakat Baduy dapat mempertahankan identitas mereka tanpa merasa
terpinggirkan (Khomsan & Wigna, 2009). Eksklusi sosial terhadap masyarakat
adat Baduy menunjukkan perlunya keseimbangan antara modernitas dan tradisi.
Masyarakat luar harus menghormati nilai-nilai adat sebagai bagian dari kekayaan
budaya bangsa. Sementara itu, masyarakat Baduy juga perlu mendapatkan
perlindungan dan dukungan agar tradisi mereka tetap lestari. Harapan ke depan
adalah terciptanya harmoni antara masyarakat adat dan masyarakat modern. Dengan
cara ini, keberagaman budaya dapat menjadi kekuatan yang menyatukan, bukan
memisahkan, semua kelompok masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, eksklusi sosial terhadap
masyarakat Baduy terlihat ketika banyak orang memandang mereka sebagai kelompok
yang "ketinggalan zaman". Misalnya, wisatawan yang datang ke wilayah
Baduy sering tidak menghormati aturan adat, seperti memotret tanpa izin atau
mengenakan pakaian yang tidak sesuai. Selain itu, masyarakat Baduy sering tidak
dilibatkan dalam pembangunan yang menyentuh wilayah mereka, seperti pembangunan
jalan atau proyek pariwisata, sehingga mereka kehilangan hak atas tanah atau
ruang hidup. Di sisi lain, stigma bahwa mereka "tidak modern" membuat
masyarakat umum enggan berinteraksi secara setara, sehingga mereka semakin
terisolasi. Situasi ini menunjukkan bahwa, meskipun tradisi mereka dihormati
secara simbolis, dalam praktiknya mereka sering diabaikan dan dimarginalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Astina & Anak, Agung. A. N. A. W. B .W.
(2023). Adaptasi Masyarakat
Adat Terhadap Modernitas. Jurnal Cakrawarti, 6(1), 124-134.
Asyari, H.,
Sripullah, dan Irawan, R. (2017). Pendidikan dalam
Pandangan Masyarakat baduy Dalam. Indonesian Journal of Educational Research
2(1). https://doi.org/10.30631/ijer.v2i1.25.
Bahrudin, B.,
& Zurohman, A. (2021). Dinamika kebudayaan Suku Baduy dalam Menghadapi Perkembangan
Global di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Journal
Civics & Social Studies, 5(1), 31–47. https://doi.org/10.31980/civicos.v5i1.795.
Bintari, Risna.
(2012). Sejarah Perkembangan Sosial Ekonomi Masyarakat Baduy Pasca Terbentuknya
Propinsi Banten Tahun 2000. Jjournal of Indonesian History 1(1),
18- 22. https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jih/article/view/2220.
Cahyono, E.
(2016). Eksklusi Atas Nama Konservasi (Studi Kasus Masyarakat Sekitar/Dalam
Kawasan Taman Nasional Ujungkulon Banten). Jurnal Sosiologi Reflektif, 8(1),
210-245. https://ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/519
Firdaus, M.N.,
Budiaman, dan Herminasari, N.S. (2020). Peran Komunitas Pramuwisata Baduy Luar Dalam Mempertahankan Kearifan
Lokal. Jurnal Edukasi IPS 4(1), 30–39. https://doi.org/10.21009/EIPS.004.1.02.
Firmansyah, N.
(2023). Eksklusi Sosial Masyarakat Adat dan Lokal. Jurnal Inklusi Ternama, 2(2),
33-56.
Gumba, F. A. (2023). Penerapan Inklusi
Sosial dalam Pembangunan Desa (Studi Kasus di Desa Mojerejo Kecamatan Junrejo
Kota Batu). Jurnal Pembangunan, 3(3), 178-200.
Hariyadi, H.
(2019). Isu Sosial-Budaya dan Ekonomi Seputar Fenomena Penjual Madu Warga Suku
Baduy ke Wilayah DKI Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, 57–72. https://jurnal.dpr.go.id/index.php/ekp/article/view/1165.
Khomsan A.,
& Wigna, W. (2009). Sosio-Budaya Pangan Suku Baduy. Jurnal Gizi dan
Pangan 4(2). https://doi.org/10.25182/jgp.2009.4.2.63-71
Suryani, I.
(2014). Menggali Keindahan Alam dan Kearifan Lokal Suku Baduy: Studi Kasus Pada
Acara Feature Dokumenter “Indonesia Bagus” di Stasiun Televisi Net.tv. Musawa:
Journal of Gender Studies and Islam 13(2). 10.14421/musawa.2014.132.179- 194.
Sutoto. (2017). Dinamika Transformasi
Budaya Belajar Suku Baduy. Jurnal Penelitian Pendidikan 17(2). https://doi.org/10.17509/jpp.v17i2.8249.
Suyani, et al. (2021). Strategi Eksklusi
pada Film Dokumenter The Mahuzes Karya Watchdoc Documentary: Kajian
Critical Discourse Analysis Theo Van Leeuwen. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari
Jambi, 21(3), 1085-1090. 10.33087/jiubj.v21i3.1636.
Widowati, D.
(2019). Suku Baduy Luar dan Terpaan Modernisasi. Dalam Komunikasi Multikultur
di Indonesia (Yogyakarta: ASPIKOM), 73-86. http://repository.ukwms.ac.id/id/eprint/21714/1/EBOOK%20Komunikasi%20Multikultur%20di%20Indonesia.pdf.
mantapp sukses putra
BalasHapusmasyaallah informatif sekaliiiš¤©
BalasHapusinteristing, kapan kapan jadi mau kesana!
BalasHapusEh ternyata baduy sampe sekarang masih kena eksklusi ya
BalasHapusgokil!! kayanya bakal seru banget kalo kita nyoba tinggal disana
BalasHapustopik yang menarik banget, eksklusi sosial Baduy ini bikin kita refleksi soal modernitas dan tradisi
BalasHapussetuju, steorotip atau stigma masyarakat umum tentang masyarakat baduy mesti dihilangkan sih
BalasHapuswah, ternyata begitu masyarakat baduy punya tradisi sendiri, mau jadi kesana deh pasti lebih seru
BalasHapus